KAMI ADALAH DAIE
Oleh: Sofyan Siroj Aw, Lc, MM
Petikan : dakwahtuna.com

NAHNU DU’AATUN QABLA KULLI SYAI’IN.
“KAMI ADALAH DAIE SEBELUM JADI APAPUN”.


SETIAP muslim adalah daie. Kalau bukan daie kepada Allah, bererti ia adalah daie kepada selain Allah, tidak ada pilihan ketiganya. Sebab dalam hidup ini, kalau bukan Islam bererti hawa nafsu. Kehidupan di dunia ini adalah hamparan nikmat sementara dan kita bebas memilih, yang akhirnya apa yang dipilih akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabbul insan kelak. Bagi muslim, dakwah merupakan darah bagi tubuhnya, ia tidak boleh hidup tanpanya.


Masih ramai manusia disekeliling kita yang memerlukan nasihat Islami.
Pasaran Dakwah masih luas terbuka. Dimana peranan kita?

Dakwah merupakan aktiviti yang begitu dekat dengan kehidupan kaum muslimin. Begitu dekatnya sehingga hampir seluruh lapisan terlibat di dalamnya. Sayang keterlibatan tersebut tidak dibekali ”Fiqh Dakwah” sehingga kerosakan yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada kebaikan yang diperbuat.

Di sini menjadi jelas akan pentingnya keperluan terhadap fiqh dakwah, sebagaimana digambarkan para ulama, bahwa ”keperluan manusia kepada ilmu melebihi daripada keperluan terhadap makan dan minum”. Sehingga penting bagi kaum muslimin yang telah dan hendak terjun dalam kancah dakwah untuk membekali diri dengan pemahaman yang utuh terhadap Islam dan dakwah Islam. Kerena orang yang melaksanakankan berdasarkan manual piawai semata-mata tanpa memiliki pemahaman yang benar terhadap Islam ”sama bahayanya” dengan orang yang memiliki pemahaman yang benar akan tetapi bodoh di dalam menyampaikan, mengapa?

Pertama; ia akan menyesatkan kaum muslimin dengan kepiawaiannya (logik yang kosong). Kedua; Hal itu akan menjadi ”dalil” bagi orang-orang kafir dalam kekafirannya (keungulan bungkusannya).

Fiqh dakwah merupakan ilmu untuk memastikan lahirnya pemahaman sebenar terhadap Islam, didukung dengan baik dalam menyampaikannya kepada khalayak. Usaha yang berterusan dengan gerak kerja dakwah ini ummat dapat menyaksikan ”Islam” dalam diri, keluarga dan aktiviti para daie yang melakukan perbaikan ummat secara integrasi, mengeluarkan manusia dari pekat jahiliyah menuju cahaya Islam.

Bagi mereka yang yang berjalan di atas rel kafilah dakwah menuju cahaya dan kebahagiaan dunia dan akhirat, dapat melihat prinsip-prinsip dakwah dan kaedah- kaedahnya, agar menjadi hujjah atau pegangan bagi manusia dan menjadi alasan di hadapan Allah. Usul fiqh sebagai bekal para daie tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qudwah (teladan) sebelum dakwah
2. Menjalin keakraban sebelum pengajaran
3. Mengenalkan Islam sebelum memberi tugas
4. Bertahap dalam pembebanan tugas
5. Mempermudah, bukan merumitkan
6. Menyampaikan yang usul (dasar) sebelum yang furu’ (cabang)
7. Memberi khabar gembira sebelum ancaman
8. Memahamkan, bukan dipaksa faham
9. Mendidik bukan menelanjangi
10. Menjadi murid seorang imam, bukan muridnya buku.

Harapan, kiranya Allah swt senantiasa mencurahkan taufiq dan petunjuk-Nya kepada para daie yang ikhlas menyeru manusia ke jalan Allah, memperbaiki diri, keluarga dan masyarakat serta tempat kerja, sehingga Allah terlibat dalam urusan dan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan untuk orang banyak, demi tegaknya tatanan Islam yang indah dalam kehidupan dengan bimbingan Allah dan sesuai panduan manhaj (aturan) dakwah Rasulullah saw. Wallahu ‘alam.



3 LANGKAH
MENJADI MANUSIA TERBAIK


ADA hadis pendek namun sarat makna dikutip dari Imam Suyuthi dalam bukunya Al-Jami’ush Shaghir. Bunyinya, “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Terjemahan bebasnya:
“Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain.”

Darjat hadis ini ini menurut Imam Suyuthi tergolong hadits hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani dalam bukunya Shahihul Jami’ush Shagir sependapat dengan penilaian Suyuthi.

Hakikatnya, manusia itu makhluk sosial. Tiada siapa yang boleh menafikan. Tidak ada satu orangpun yang boleh hidup sendirian. Semua saling bergantungan. Saling memerlukan.Kerena saling memerlukan, pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.

Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan pengorbanan yang amat minima, naluri kita akan mengatakan itu tidak adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara yang curang dan melanggar hak orang lain.

Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola hubungan yang saling redha dalam mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita akan senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri, dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan.
Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak memberi dari mengambil manfaat dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Dermawan. Ikhlas. Tidak punya vested interest.

Orang yang selalu mengusahakan kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah saw. menyebut seperti itu? Setidaknya ada empat alasan. Pertama, karena ia dicintai Allah swt. Rasulullah saw. pernah bersabda yang bunyinya kurang lebih, orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah?

Alasan kedua, karena ia melakukan amal yang terbaik. Kaedah usul fiqih menyebutkan bahawa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat berbanding yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika ruangnya lebih luas lagi. Amal itu boleh menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Karena itu tak hairan jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling afdhol untuk dikerjakan.

Ketika musim kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata membuat sumur/telaga adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sakit dan tidak ada yang merawat, Rasulullah menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.

Ketiga, kerena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata,
“Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu keperluannya, maka itu lebih aku cintai daripada iktikaf sebulan di masjidku ini.” (Thabrani). Subhanallah.

Keempat, memberi manfaat kepada orang lain tanpa balasan, mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik-baik.

Pernah suatu ketika lalu orang membawa jenazah untuk dihantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lalu lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk dihantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayat. Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Karena itu di surat At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baiknya amal agar Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir, Rasul dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.

Kemiskinan dan kekayaan hanyalah ujian Allah SWT untuk meletakkan sejauh mana

kefahaman dan darjat iman manusia.

Untuk menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa hal dalam diri kita. Pertama, tingkatkan keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa mengharapkan balasan adalah amal yang hanya mengharap redha kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt. saja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan mampu beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.

Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesukar sekalipun.

Kedua, untuk mampu memberi manfaat yang banyak kepada orang lain, kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap materialistik dari diri kita. Allah swt. memberi contoh kaum Ansar. Lihat surat Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka perlukan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah kukuh taraf kehidupan dan ekonomi, tidak terdetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.

Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita secara logiknya sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logik ini diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seorang sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah saw. bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah saw. Memperbetulkan jawapan sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah diberikan.

Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Itulah milik kita yang hakiki kerana kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibahagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk karena waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tidak hairanlah jika dalam sejarah kita melihat bahawa para sahabat dan salafussaleh mudah saja menginfakkan wang yang mereka miliki. Sehinggakan tidak terfikir untuk meninggalkan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.

Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa balasan kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita berkunjung ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.

Kelima, untuk boleh memberi, tentu kita harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, sama ada berbentuk kewangan, fikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita boleh memberi minum orang yang haus. Jika punya ilmu, kita boleh mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sihat, kita boleh membantu beban seorang nenek yang menjinjing beg yang besar. Luangkan waktu untuk bersosialisasi, dengan begitu kita boleh hadir untuk masyarakat di sekitar kita.


Firman Allah SWT:
Tidak engkau diwajibkan (wahai Muhammad )
menjadikan mereka (yang kafir) mendapat pertunjuk, (kerana kewajipanmu hanya menyampaikan pertunjuk), akan tetapi Allah jualah yang memberi petunjuk (dengan memberi taufik) kepada sesiapa yang dihendakiNya (menurut undang-undang peraturanNya ). Dan apa jua harta yang halal
yang kamu belanjakan (pada jalan Allah) maka (faedahnya dan pahalanya) adalah untuk diri kamu sendiri. Dan kamu pula tidaklah mendermakan
sesuatu melainkan kerana menuntut keredhaan Allah. Dan apa jua kamu dermakan dari harta yang halal, akan disempurnakan (balasan pahalanya) kepada kamu, dan (balasan baik) kamu (itu pula) tidak dikurangkan.

Al-Baqarah :272